Pagi ini, langit mendung menyelimuti kota Malang. Nampaknya perjalanan ke Semarang akan ditemani hujan. Benar saja, baru sampai di kota Surabaya, warna langit yang kelabu semakin pekat. Saat memasuki Solo, hujan mulai turun perlahan. Pupus sudah harapan untuk melihat beberapa rest area terkenal di sepanjang tol menuju Semarang, salah satunya Rest Area Pendopo KM 456. Akhirnya, saya memilih untuk menikmati perjalanan dalam dunia mimpi alias tidur.


Berlayar Tanpa Peta di Kota Lama Semarang

Sekitar pukul 09.30 WIB, saya berangkat menjelajahi Kota Lama Semarang dengan bekal sebuah payung dan dua botol air minum. Di luar dugaan, cuaca di Semarang ternyata sepanas Surabaya. Meskipun sudah terbiasa dengan perubahan cuaca dari dinginnya Malang ke panasnya Surabaya, tetap saja hari ini terasa lebih menyengat.

Saat pertama kali berkeliling Kota Lama, saya sama sekali buta arah dan informasi. Saya memutuskan untuk memotret setiap bangunan dan momen yang menarik. Tidak ada salahnya berlayar tanpa peta untuk menikmati perjalanan kali ini.

Tepat pukul 10.00 WIB, langkah saya bermula dari sebuah gedung bertuliskan "Spiegel" yang tampaknya merupakan bar dan bistro yang juga menjual gelato. Di sebelahnya, terdapat jalanan yang cukup ramai dilalui kendaraan roda empat dan dua. Saya tidak tahu apakah itu jalan tembus ke Kota Lama atau jalan utama di Semarang. Namun, Gedung Spiegel mudah dikenali karena letaknya yang strategis.


Gedung Spiegel mudah sekali terlihat karena tata letaknya yang strategis.


Saat memutar badan, saya melihat sebuah bangunan yang warnanya cantik dan posisi bangunannya serupa dengan Spiegel. Yap, menghadap miring ke jalan. Dari kesamaan tadi saya berasumsi jika bangunan yang bertuliskan Marba pada dinding bagian luar ini memiliki peran penting di Kota Lama Semarang. Atau memang ini salah satu ciri khas bangunan di Kota Lama?


Gedung Marba dengan warna dinding yang cantik.


"Baiklah, mari kita mulai berkeliling. HP? Sepatu? Tas? Aman!" teriak saya dalam hati penuh semangat.


Tampak bangunan Gereja Blenduk dari samping.


Bangunan Klasik Multifungsi

Baru beberapa langkah berjalan, saya tergoda untuk memasuki sebuah bangunan bernama "Galeri UMKM." Namun, mengingat cuaca semakin panas, saya memilih untuk menyelesaikan misi berkeliling terlebih dahulu dan kembali nanti.

Semakin siang, saya semakin yakin bahwa keputusan ini tepat, terlebih melihat rute yang cukup panjang dan terik matahari yang semakin menyengat. Bahkan angin pun seolah enggan hadir untuk berbagi kesejukan.


Galeri UMKM bersebelahan dengan hotel kapsul anak backpacker yang kekinian.


Area Kota Lama memang cukup luas, tidak heran ada Gojek sebagai solusi bagi mereka yang lelah berkeliling.

Sepanjang perjalanan, saya tersadar tidak hanya bangunan klasik yang ada di sini. Namun juga pembangunan beberapa gedung baru yang menggenapinya. Salah satunya cikal bakal Museum Kota Lama ini. 


Pembangunan Museum Kota Lama yang mulai terlihat fasad bangunannya.


Hal lain yang menarik perhatian saya adalah bahwa banyak bangunan di sini berfungsi sebagai toko, kantor, pabrik, kafe, dan rumah makan. Saya sempat berpikir seluruh wilayah ini adalah milik pemerintah, hingga akhirnya melihat beberapa bangunan dengan spanduk bertuliskan "DIJUAL." Hal ini membuat saya semakin penasaran mengenai kepemilikan dan perawatan gedung-gedung tua di Kota Lama.


Salah satu sudut bangunan yang dijadikan sebagai tempat makan.


Hero Coffee menjadi salah satu tempat ngopi andalan selain Filosofi Kopi di Kota Lama.



Pabrik Rokok Praoe Lajar yang sudah berdiri sejak 1956.



Nampak pintu samping salah satu bangunan yang dimanfaatkan sebagai kantor Bank Mandiri.



Salah satu dari beberapa bangunan yang bertuliskan spanduk dijual.


Sisi lain dari salah satu sudut di Kota Lama yang masih bertahan ditengah bangunan yang berubah menjadi cafe dan rumah makan.



Deretan pertokoan yang ramai aktivitas perdagangan mengingatkan sejarah Semarang sebagai salah satu pusat perdagangan dimasa lampau.


Tempat wisatawan biasanya berswafoto. 


Rekreasi Seni di Kota Lama

Tidak terasa satu jam berlalu. Saya telah selesai mengelilingi Kota Lama. Kunjungan selanjutnya ke Semarang Contemporary Art Gallery yang saya temukan di garis akhir perjalanan dan Galeri UMKM dan sudah saya lirik dari awal perjalanan.



Semarang Contemporary Art Gallery tampak dari depan.


Dengan membayar tiket Rp10.000,- perorang, saya sudah bisa menikmati galeri seni tersebut. Saat memasukinya, saya disuguhi sebuah papan besar bertuliskan "Sejarah Bangunan Ini" sebagai pengingat bahwa saya tidak boleh melupakan riwayat yang membuatnya tampak eye cathcing seperti sekarang.



Sejarah Semarang Contemporary Art Gallery tertulis di sini.

Menafsirkan karya seni bukanlah hal yang mudah bagi saya. Bisa jadi imajinasi saya berbeda dengan pesan yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Namun, tidak mengapa, karena seni memang untuk dinikmati dan diapresiasi tanpa perlu penghakiman benar atau salah.


Interior bangunan yang minimalis membuat karya seni yang dipajang terasa lebih menonjol.


Hampir saja ada yang terlewat. Meski saya sedikit yakin kalau produk di dalamnya kurang lebih adalah beberapa aksesoris yang terbuat dari kain batik sebagai ciri khas galeri UMKM pada umumnya, tapi siapa tau ada sesuatu yang baru kan? Mari ke Galeri UMKM!


Tampilan dalam Galeri UMKM dihiasi dengan berbagai produk handmade.

Ternyata benar dugaan saya, mayoritas produk yang ada merupakan handmade bernuansa batik. Sebagian lagi ada yang terbuat dari kulit dan katun jepang berbordir. Hal yang menarik karena saya masih bisa menjumpai produk berbordir diluar tempat tinggal saya, kota Malang. Meskipun sudah terbiasa melihat produk berbodir setiap harinya di rumah sendiri, nyatanya saya tetap ingin membeli salah satu produk tersebut sebagai buah tangan.


Little Netherland Menjadi World Heritage UNESCO

Sepanjang perjalanan pulang menuju penginapan, saya masih diselimuti rasa penasaran dengan sejarah Kota Lama yang saya jelajahi tadi. Segudang tanda tanya datang bertubi-tubi dan membuat saya merasa tidak nyaman. Akhirnya, saya browsing untuk mencari tau apa yang membuat salah satu objek wisata andalan di Semarang ini diminati masyarakat. Dari beberapa informasi tersebut, saya baru mengetahui jikalau Kota Lama dijuluki "The Little Netherland" dan menyimpan sejarah yang tidak lekang oleh waktu. Memang benar, perjalanan mengelilingi Kota Lama membuat saya tersadar betapa megahnya arsitektur di Kota Lama.


"Semarang memiliki kawasan permukiman bersejarah yang lengkap dan unik, seperti Kauman, Kampung Melayu, Pecinan, dan Little Netherland. Sayangnya, kawasan-kawasan tersebut terancam dari berbagai penjuru sehingga perlu usaha ekstracerdas untuk melestarikannya." Catatan Kota Semarang


Tidak berhenti disitu. Keberagaman budaya yang dimiliki Kota Lama juga memberi isyarat bahwa Semarang menyimpan kekayaan budaya yang bukan rekayasa belaka. Kisahnya sudah mengembara dari masa ke masa. Tidak heran jika pemerintah daerah dan pusat berharap UNESCO melirik Kota Lama. Sehingga dalam dua tahun ini, Semarang terus berbenah untuk mengejar status sebagai "World Heritage" atau kota warisan.


Jatuh Hati dengan Kota Lama

"Upaya memperjuangkan Kota Lama Semarang menjadi World Heritage UNESCO patut didukung. Akan tetapi kelangsungan masyarakat dan bangunan tua sebagai satu ekosistem dan keunikan Semarang sebagai kota yang harmonis adalah nyawa yang harus dipertahankan sebagai sumbangan Semarang dan Indonesia bagi peradaban urban umat manusia!" Kota Lama Semarang, Miniatur Belanda di Tanah Jawa


Sebagai salah satu wisatawan lokal, saya merasakan getaran yang tidak biasa sejak pertama kali melihat Kota Lama. Mungkin ini yang namanya jatuh hati. Rasanya saya ingin menetap lebih lama dan menyaksikan setiap proses demi proses Kota Lama menjadi World Heritage.

Saya sependapat bahwa arsitektur bangunan yang kaya nilai sejarah, kemajemukan masyarakat, serta sejarah panjangnya merupakan paket lengkap yang kelestariannya harus dijaga. Semoga semakin banyak orang yang jatuh cinta dengan Kota Lama seperti saya, dan jika ada kesempatan, saya tentu ingin kembali lagi dan lagi.