Siang itu, saya mampir ke Makarya yang terletak di Gramedia Matraman dengan membawa misi sederhana: mencari sebuah buku yang bisa selesai dalam sekali duduk. Saya sedang ingin menyepi dari rutinitas dan merasakan sensasi membaca di kafe yang juga merangkap toko buku ini untuk pertama kalinya. Merencanakannya saja sudah terasa seru!

Cahaya matahari menembus kaca kafe, menyinari rak-rak yang seperti galeri kecil di setiap sisinya. Di antara banyak judul, mata saya tertuju pada satu buku berwarna merah menyala berjudul, "Perjamuan Khong Guan" karya Joko Pinurbo. Judulnya mengundang rasa penasaran. Samar-samar saya merasa pernah mendengar nama penulisnya. Desain sampul bukunya dibuat mirip kaleng biskuit tua Khong Guan, sesuai judulnya. It looks iconic!


***


Awalnya, saya kira buku ini akan seperti camilan yang ringan, manis, dan cepat habis dalam sekali hap. Tapi ternyata, tak semudah itu. Buku ini adalah kumpulan puisi karya Joko Pinurbo. Dua-tiga halaman pertama masih bisa saya selami sambil menyeruput teh hangat dari kafe kecil di tengah ruangan. Namun, ketika sampai pada puisi Jalan Buntu, saya terhenti lama.





Baris-baris itu seolah menampar dan memeluk dalam waktu bersamaan. Sontak, kalimat pertama yang saya ucapkan kala itu adalah, “Duh, iya lagi!”

Saya membacanya berulang. Pilihan kata Jokpin, begitu sapaan akrab Joko Pinurbo, tidak serasa menghakimi dan jauh dari kesan menggurui atau ingin terlihat religius. Hanya dengan menggunakan kata "Ku" saja, saya langsung sadar bahwa puisi ini menggambarkan hubungan antara manusia dan penciptanya.

Serangan telak datang di akhir, saat Jokpin menulis, "suka neko-neko, sok tahu, dan terlalu banyak mau." Kalimatnya lugas, tapi justru di situlah letak kekuatannya. Bagaimana? Ikut tertampar juga, tidak? Hehe.

Pun sejak halaman itu, buku ini tidak lagi terasa seperti camilan. Puisi-puisi Jokpin menjelma menjadi hidangan utama yang mengenyangkan dan kaya rasa!

Sebenarnya... saya sempat ragu ketika menemui kata seperti asu yang muncul lebih dari sekali. Satu kata yang tidak pernah saya ucapkan karena terdengar kasar. Tapi Jokpin punya cara menulis yang jujur tanpa pretensi puitis yang berlebihan. Membaca tulisannya seperti mengobrol di warung kopi yang identik menjadi tempat nongkrong anak muda dengan pikiran terbuka dan hati lapang. Jadi, saya yakin, tidak akan ada yang mempermasalahkan kata asu.

Sempat terlintas untuk menghitung berapa kali kata itu muncul di buku ini, tapi niat itu saya urungkan, hehe.


***


Kemudian saya tiba di puisi berjudul "Hujan Khong Guan." Ceritanya bermula tentang seorang bocah yang menaruh kaleng Khong Guan di luar rumah demi mendengar hujan tumpah di atas kaleng biskuit. Tapi tentu saja, isi puisi Jokpin tak sesederhana itu, kan?





Awalnya, baris-baris puisi ini terasa ringan dan penuh imajinasi khas bocah yang menggemaskan dengan rasa ingin tahunya. Namun, pada baris terakhir, fokusnya mengarah pada makna yang lebih dalam, seolah menggambarkan bagaimana si bocah memaknai momen kecil itu.

Saat membacanya saya seperti ditarik pelan ke dalam cermin. Mungkin karena saya juga diam-diam takut menjadi dewasa. Takut ketika segalanya harus punya makna. Takut untuk harus mampu menafsirkan hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi. Padahal dulu, waktu kecil, hujan ya hujan. Nggak perlu pakai metafora untuk menjelaskan maksudnya.

Pada akhirnya, kita semua akan berjumpa pada satu titik. Di mana kita ingin kembali melihat dunia dengan sudut pandang dan pola pikir lugu seorang bocah. Di mana kita ingin bisa menerima sesuatu sebagaimana adanya, tanpa harus memaknainya secara rumit. Sama halnya dengan hujan yang tumpah di kaleng biskuit. Mau jatuh di mana pun, sudah seharusnya hujan tetaplah hujan, kan?


***


Hari mulai merambat sore. Cahaya di dalam toko berganti menjadi hangat keemasan, sementara semburat jingga coba menyusup lewat kaca. Saya masih duduk sambil membolak-balik halaman yang sebenarnya sudah selesai dibaca. Tapi entah kenapa, rasanya belum rela berhenti. Saya ingin mengulangnya lagi dan lagi. Buku ini memang bisa habis dalam sekali duduk, tapi jika setiap barisnya diurai, tentu butuh waktu yang lebih lama dari sekadar sekali duduk.

Waktu terus berjalan, dan saya mulai sadar, saya tidak bisa selamanya tinggal di halaman yang dibolak-balik ini. Di sisi lain, saya juga tidak ingin terjebak macet, baik di jalan maupun dalam alam pikiran sendiri yang terlalu larut. Maka saya putuskan untuk segera pulang.

Saat keluar menuruni anak tangga kafe menuju halaman parkir, rintik hujan tiba-tiba menyambut dengan lembut. Oke, kali ini saya akan membiarkan hujan tetaplah hujan. Saya tidak akan membebani pikiran dengan hal yang macam-macam. Hanya saja, saya tetap tidak berhenti berpikir. Semoga saja tak ada Si Komo lewat! Jadi saya bisa sampai di rumah sebelum adzan maghrib berkumandang.


***


Malamnya di rumah, saya menyalakan lampu kamar yang temaram. Masih ada rasa penasaran yang tertinggal, siapa sebenarnya sosok Jokpin? Iya, iya, saya tahu. Main saya kurang jauh, ya? Kok bisa-bisanya baru kenal Jokpin sekarang! 

Akhirnya, saya iseng membuka akun X-nya. Di sana, saya menemukan sekumpulan puisi yang juga ada di buku Perjamuan Khong Guan. Ternyata tulisan yang diunggah Jokpin di akun X-nya ini sudah dimuat di koran Kompas sejak 31 Agustus 2019. Saya juga mencoba membaca karya Jokpin lainnya. Hingga saya bertemu dengan kenyataan lainnya jika Jokpin sudah berpulang melalui tulisan Avianti Armand.






Hari ini saya benar-benar merasa seperti pulang dari sebuah perjamuan sederhana nan hangat, dengan suguhan sekaleng biskuit dan segelas teh yang menenangkan. Perjamuan ini bukan sekadar kumpulan puisi, melainkan ruang percakapan yang hening dengan diri saya sendiri. Penuh rasa ingin tahu tentang tulisan-tulisan Jokpin lainnya, penuh tanda tanya tentang sosok Jokpin juga tentunya.

Mungkin besok saya akan membaca buku ini lagi. Tentu dengan sekaleng camilan yang sama. Mungkin tehnya akan berbeda atau tempatnya tak lagi sama. Tapi saya yakin, hangatnya akan tetap terasa. Sebab saya ditemani Perjamuan Khong Guan yang nggak kaleng.