Baru beberapa hari lalu, saya mengikuti acara bedah buku bertema self-improvement. Sebuah topik yang cukup akrab dan dekat dengan saya belakangan ini. Karena ini pengalaman pertama saya mengikuti acara bedah buku, tentu saya harus membagikan momen tersebut lewat Instagram Story. Sebuah kebiasaan yang ternyata malah membuka pintu kejutan lainnya. Tidak lama setelahnya, saya menerima pesan dari seseorang yang tidak dikenal. Dia memberitahu saya tentang adanya Talkshow Literasi Tengah Kota bersama Henry Manampiring.
Daya tarik utama talkshow ini tentu saja adalah buku Filosofi Teras. Gambar sampulnya terpampang di pamflet acara. Buku ini memang sudah lama ada dalam daftar baca saya, tapi entah mengapa, selalu saja tertunda untuk dibeli. Tapi mungkin memang ini saatnya. Akhirnya saya bisa membaca buku ini dan bertemu langsung dengan penulisnya. Dua kesempatan yang terasa seperti mimpi dan terlalu sayang untuk diabaikan.
Tentu, agar tidak datang dengan gelas kosong, saya harus membaca bukunya terlebih dahulu. Tepat H-1 sebelum acara, setelah pulang kerja, saya bergegeas pergi ke Gramedia dan membelinya. Saya terkejut sekaligus senang saat menemukan buku tersebut masih berbaris di rak best seller. Rasanya seperti menemukan harta karun yang telah lama hilang. Jujur saya sudah lama tidak berkunjung ke Gramedia setelah beberapa bulan ini disibukkan dengan rutinitas pekerjaan dan kesehatan. Tanpa pikir panjang, saya membawanya pulang dengan hati riang. Malam itu juga, saya mulai membaca.
Begitu membuka halaman demi halaman, saya langsung tenggelam. Beberapa bagian terasa seperti mengetuk ingatan lama. Mungkin karena saya pernah mengikuti mata kuliah filsafat selama satu semester. Saya bahkan pernah menulis dua esai yang saya anggap lebih dari sekadar tugas mata kuliah. Saat itu, saking senangnya dengan isi tulisan tersebut, saya bahkan berani mengunggahnya ke Kompasiana.
Tak terasa saya sudah meneguk beberapa lembar buku karya Om Piring, begitu beliau biasa disapa. Tapi saya memilih berhenti dan menyimpan sisanya untuk dibaca esok hari. Mata saya sudah terasa sangat lelah malam itu. Padahal target saya, gelas ini harus terisi setengahnya. Tidak mengapa, yang terpenting saya sangat menikmati setiap tegukan demi tegukan dari tulisan Om Piring yang lebih dari pelepas dahaga ini.
Hari yang saya tunggu akhirnya tiba.
Saya datang tanpa membawa pertanyaan. Saya hanya ingin mendengarkan dengan saksama. Selama acara berlangsung, saya mencatat banyak hal mulai dari kutipan, cerita, dan pengalaman yang Om Piring bagikan dengan begitu jujur dan tulus.
Dan siapa sangka! Ternyata saya dan Om Piring memiliki benang merah yang sama. Kami sama-sama lulusan akuntansi. Rasanya seperti menemukan kejutan kecil (lagi) yang menyenangkan.
Om Piring bercerita tentang masa kecilnya yang dekat dengan buku. Beliau tumbuh bersama bacaan fiksi. Di bagian biografi penulis pada halaman terakhir Filosofi Teras, beliau bahkan menulis, "Henry masih menyimpan mimpi untuk suatu hari menulis buku fiksi pertamanya." Seiring berjalannya waktu, perlahan bacaan beliau bergeser ke buku non-fiksi, tepatnya sejak masa kuliah. Menurut beliau selera bacanya kini menjadi sangat beragam dan itu turut mempengaruhi cara berpikir dan menulisnya.
Salah satu momen menarik dalam talkshow adalah ketika moderator menanyakan pendapat beliau mengenai AI. Menurut Om Piring,
"AI itu hanya seperti mencicipi hidangan appetizer di sebuah resto. Mereka yang menulis dengan AI tidak akan pernah bisa merasakan kenikmatan hidangan utama."
Beliau melanjutkan,
"AI itu nggak punya kepribadian. Padahal setiap penulis itu punya kepribadiannya masing-masing dalam setiap tulisannya."
Dalam hati saya mengangguk, setuju sepenuhnya.
Saya juga mendapat kejutan fakta lainnya, yaitu ketika Om Piring bercerita tentang masa-masa didiagnosis depresi. Beliau tidak menutupi pengalaman pahitnya, justru dengan berani membagikannya. Kala melalui masa sulit tersebut, beliau merasa sangat terbantu oleh buku-buku filsafat, terutama Stoikisme. Filosofi inilah yang mempercepat proses pemulihannya. Menurut beliau,
"Kalau pemikiran ini bisa menyembuhkan saya. Maka bisa juga menyembuhkan orang lain."
Itulah momentum yang membuat beliau menulis Filosofi Teras. Sebuah karya hasil interpretasi Stoikisme dari sudut pandang orang Indonesia. Karena menurut beliau saat itu, sebagian besar buku tentang Stoikisme masih berasal dari luar negeri dan jarang yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Ada satu kutipan dari Filosofi Teras yang baru saya baca dua hari ini, namun langsung melekat di ingatan,
Kutipan ini terasa sangat relevan, apalagi untuk kita yang sedang menghadapi badai dalam kehidupan. Percayalah... pada akhirnya, life goes on.
Kini, setelah berhasil melewati masa-masa gelap itu, Om Piring bukan hanya menyelamatkan dirinya, tapi juga telah menyelamatkan banyak orang melalui tulisannya. Siapa sangka, dulunya beliau hanya seorang blogger tanpa ekspektasi besar untuk dapat menerbitkan buku. Tapi akhirnya karya beliau begitu berarti bagi banyak orang.
Menurut Om Piring, seorang penulis akan menulis ketika dia ada panggilan dan ada yang kosong ketika dia nggak menulis. Maka kamu yang sudah menuliskan sesuatu dengan media apa pun itu tetaplah dapat dikatakan sebagai seorang penulis.
Masih berkaitan dengan seluk beluk dunia penulis. Saat sesi tanya jawab, ada seseorang yang bertanya tentang genre apa saja yang Om Piring baca. Beliau menjawab,
"Semakin bervariasi genre yang dibaca maka semakin baik. Misalnya kamu sedang memasak, di sana ada berbagai macam bahan dapur. Semakin banyak jenis yang kamu olah dari bahan tersebut ke dalam makananmu, maka semakin kaya pula rasanya. Sama halnya dengan membaca. Literasimu akan semakin kaya dengan berbagai genre yang kamu baca."
Entah kenapa, atau mungkin karena saat itu memang jam makan siang, atau mungkin karena nama panggilan beliau adalah Om Piring, perumpamaan makanan selalu saja muncul dalam penjelasan beliau. Buktinya, coba baca kembali analogi hidangan restoran yang beliau pakai untuk menjelaskan AI di atas :)) Begitulah kepiawaian Om Piring dalam menafsirkan hal-hal rumit melalui perumpamaan yang sederhana, sehingga lebih mudah kita pahami.
Tidak terasa, waktu bersama Om Piring sudah harus usai. Rasanya seperti hanya menyantap lima suap nasi. Belum benar-benar kenyang. Tapi yang pasti, pengalaman hari ini begitu bermakna. Jika nanti di Jakarta dan Malang ada event dengan beliau sebagai pembicara, saya akan berusaha datang lagi dan lagi. Karena saya yakin akan selalu ada cerita baru yang belum sempat tertuang di buku beliau dan bisa saya dengar secara langsung.
Ini adalah kali pertama saya merasakan pertemuan, mendapatkan tanda tangan, dan mengucapkan rasa terima kasih secara langsung kepada seorang penulis. Sebuah momen yang akan selalu saya kenang!
Untuk kedua kalinya, saya ingin mengucapkan, "Terima kasih Om Piring sudah membuat karya-karya yang bagus." Sebab ucapan pertama sebenarnya sudah saya sampaikan langsung siang tadi, semoga beliau mengingatnya! Dan semoga di lain waktu, saya bisa kembali menyantap hidangan inspirasi dari Om Piring lainnya hingga diri ini merasa kenyang.